Ambigu

Tidak ada almari, tidak ada tv, tidak ada komputer, tidak ada minyak wangi, bahkan bantal gulingpun enggan tuk bergolek di kasur biru itu. Hanya sebuah kasur tipis dengan selimut yang mirip dengan selimut pasien rumah sakit, bantal putih dengan merek canon dan segunung kertas yang memenuhi ruang itu. 



Ya inilah kamarku kawan. Aku terperangkap di sini. Inilah penjaraku saat ini. Hanya bersama kertas-kertas itulah aku menghabiskan hari-hariku. Tak ada jalan-jalan, tidak ada refresing apalagi hang out seperti dulu, bahkan senyumpun jarang lagi terbit dari bibirku. Aku sudah tampak tua, rambut, kumis dan jenggotku sudah  panjang. Sekilas aku tampak seperti para tahanan seperti dalam pilem-pilem.

Tapi, siapa yang bertanggung jawab sehingga kondisiku bisa seperti  sekarang?. aku masih bingung. Ini semua salah pesawat terbang dan kereta api itu. Iya mereka yang bertanggung jawab atas kondisiku seperti sekarang ini. Merekalah yang membawaku jauh dari orang-orang yang kucintai dari seberang sana. Sekarang aku hanya hidup sebatang kara di negeri  yang serba bebas ini.

Tapi mengapa pesawat dan kereta yang kusalahkan? Bukankah mereka hanya benda mati, mereka tidak bisa bercerita, mereka tiadak bisa memandang, mereka hanya berjalan ke arah kemana pengendali membawa mereka. Mereka tidak sedikitpun bersalah dengan keadaanku seperti saat sekarang ini. ya, aku memang egois. Aku tidak berani menyalahkan diriku sendiri. Aku hanya bisa menyalahkan orang lain. Bahkan bisa-bisanya aku menyalah benda mati seperti mereka. O tidak maafkan aku. 

Sekarang aku sadar. Akulah sendirilah yang menciptakan duniaku seperti ini. bukan salah pesawat, bukan salah kereta, dan yang pastinya bukan salah orang tuaku. Yang bisa disalahkan sekarang adalah khayalanku sendiri. Ya merekalah yang bertanggung jawab atas terbelenggunya diriku saat ini. Mereka telah menciptakan sebuah mimpi besar dalam logikaku. Mimpi yang sayapun tidak tau pasti, apakah sebuah kenyataan ataukah tidak lebih sebatas anganku saja. Mimpiku masih tersimpan di peti mati yang tersimpan jauh di bawah alam sadarku, yang kuncinyapun aku tak tau dimana. 

Benar, sekarang aku sedang mencari kunci itu untuk membuka peti mati yang bersemayam di alam bawah sadarku. Aku tak tahu apa isinya. Apakah sebuah mimpi yang telah terskenario seperti anganku sekarang, ataukah hanya selembar nyanyian kematian dengan sejuta pisaunya. Aku tidak tahu, aku masih menunggu sampai kunci itu kutemukan dan melihat semua isi peti itu. 


₪₪

Mimpiku ini juga telah memisahkanku dengan orang-orang yang kusayangi. Seseorang yang telah melahirkanku dengan tulus, sekarang hanya bisa kudengar suaranya dari benda bewarna hitam bertombol. Teman-temanku yang biasanya sering terdengar tawanya, sekarang hanya tinggal sketsa di dalam otak belakangku. Sahabat-sahabat yang dulu pernah memberikan kekuatan untukku, sekarang tinggal seberkas kenangan di dalam mimpi. Aku bahkan tak mengerti mengapa mimpiku sangat kejam pada diriku sendiri.

Aku hanya bisa berterima kasih pada internet dan benda hitam bertombol tadi. Dengan mereka aku bisa tertawa dengan teman-teman, sahabat-sahabatku yang jauh di seberang sana. Tapi apalah artinya bisa berkomunikasi tanpa melihat wajah aslinya. Teman-temanku di seberang sana, aku benar-benar sangat merindukan kalian. Hanya kata itu yang paling indah yang bisa kuucapkan saat ini. lebih indah dari nyanyian alam dengan lengkungan pelangi di barat sana.

0 Comments:

Post a Comment